Salam dari belahan dunia manapun di alam semesta yang indah ini. Mungkin sudah agak lama
sebenarnya buku ini terbit yaitu tahun 2010 karangan IR. KGPH.
Soeryo Goeritno, M.Sc karena saya baru membelinya akhir-akhir ini.
Pasti semua orang tahu siapa itu Adolf Hittler ya dia adalah diktator
dari Jerman pada saat Perang Dunia Kedua. Ia mati dibunker bersama pacarnya bernama Eva Braun dengan cara meminum racun sianida. Tetapi,
koran The Daily Telegraph pada 28 September 2009 menurunkan satu
laporan, tengkorak yang selama ini diduga milik Hitler dan disimpan di
Rusia ternyata, bukanlah tengkorak tokoh tersebut. Dalam Program History
Channel Documentary, koran yang terbit di Inggris itu menjelaskan,
tengkorak tersebut merupakan tengkorak perempuan yang meninggal di bawah
usia 40 tahun .Dengan informasi ini, semakin terbuka munculnya
spekulasi seputar kematian tokoh Perang Dunia II tersebut. Selama ini,
sebagian masyarakat dunia meyakini pemimpin Nazi (Nationalso Zialismus)
Jerman tersebut, tewas bunuh diri di salah satu bunker di Berlin pada 30
April 1945 bersama kekasihnya Eva Braun. Ketika itu usia Hitler 56
tahun. Sebagian lagi beranggapan, Hitler berhasil melarikan diri bersama
Eva Braun, kemudian menghabiskan masa tuanya di Brasil, Argentina, atau
wilayah lainnya di Amerika Selatan. Masing-masing pihak mengemukakan
berbagai argumen yang memperkuat dugaan mereka. Sejumlah dokumen
diungkapkan dan para saksi pun berbicara.
1. "Sosro sempat bertemu langsung beberapa kali dengan Poch, saat
bertugas sebagai tenaga kesehatan di kapal Hope yang dijadikan rumah
sakit pada 1960. Dari perjumpaannya dengan Poch, Sosro mengetahui kaki
kiri dokter tersebut tidak normal. Jika berjalan harus diseret.
Sementara tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong pendek dan
hanya tersisa di tengah. Persis seperti yang ditirukan komedian terkenal
Charlie Chaplin. Tidak tersisa rambut di kepalanya alias plontos." pada tahun 1960 usia Hittler adalah 71 tahun (lahir tahun 1889) maka
mungkin ia menarik kesimpulan bahwa laki-laki tua dengan kaki diseret
dan kumis yang bersisa tengahnya saja adalah Hittler pemimpin Nazi.
2. Perbandingan antara foto dr. Poch dengan Sang Diktator Jerman.
Selain versi yang sudah lama dikenal dunia, terdapat versi Indonesia
yang boleh jadi merupakan versi terbaru. Dalam versi itu dijelaskan
tentang kemungkinan Hitler melarikan diri ke Indonesia dan meninggal di
Surabaya. Dugaan ini didasarkan pada penuturan seorang dokter warga
Bandung, Sosrohusodo. Dia pun memperlihatkan setumpuk dokumen yang
tampak lusuh. Diikat dengan beberapa belit benang. Antara
lain berisi foto-foto lama, yang memperlihatkan seorang lelaki dan
perempuan bule warga negara Jerman, paspor, dan buku harian dengan
tulisan steno. Terdapat pula foto seorang wanita Sunda, yang disebutnya
sebagai sumber amat penting dan memperkuat teorinya itu. Lelaki dalam
foto-foto itu bernama dr. Poch, pemimpin salah satu rumah sakit umum di
Pulau Sumbawa Besar. Sosro sempat bertemu langsung beberapa kali
dengan Poch, saat bertugas sebagai tenaga kesehatan di kapal Hope yang
dijadikan rumah sakit pada 1960. Dari perjumpaannya dengan Poch, Sosro
mengetahui kaki kiri dokter tersebut tidak normal. Jika berjalan harus
diseret. Sementara tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong
pendek dan hanya tersisa di tengah. Persis seperti yang ditirukan
komedian terkenal Charlie Chaplin. Tidak tersisa rambut di kepalanya
alias plontos. Hal lain yang membuatnya heran, ternyata Poch tidak
memiliki ijazah kedokteran, tidak memiliki lisensi apa pun di bidang
kesehatan. Akan tetapi, ternyata dia bisa memimpin satu rumah sakit.
Sehari-hari Poch sering membungkus tubuhnya dengan seragam putih,
pakaian khas dunia kedokteran. Sebagai seorang dokter, Sosro pernah
memancing Poch dengan percakapan soal kesehatan. ”Poch ternyata tidak
menguasai dunia medis, saya tahu itu. Dari pembicaraannya, dia tidak
mengerti soal kedokteran. Ini makin misterius saja. Lalu siapa yang
mengangkatnya menjadi pemimpin rumah sakit tersebut. Tentu tidak
sembarang orang bisa menjadi pimpinan salah satu lembaga penting seperti
itu,” kata Sosro. Pada satu kesempatan berkunjung ke kediaman Poch,
banyak hal dikemukakan dokter tua tersebut yang justru memperkuat dugaan
Sosro. Misalnya saat ditanya tentang pemerintahan Hitler, Poch secara
terang-terangan memujinya. Dia juga menolak anggapan terjadinya
pembantaian besar-besaran terhadap orang Yahudi di Kamp Auschwicz.
Padahal, dalam sejarah dunia kamp yang satu ini merupakan cerita horor
legendaris pada masa kejayaan Nazi. Poch juga mengaku tidak tahu-menahu,
ketika ditanya tentang kematian Adolf Hitler pada 1945 di Berlin. Dia
hanya bercerita, keadaan saat itu benar-benar kacau-balau dan setiap
orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Poch seperti menghindar jika
ditanya terlalu jauh soal sosok Hitler dan sepak terjang Nazi. Hampir
sepanjang perbincangan berlangsung, lelaki tua yang gemar memotret itu
mengeluhkan tentang tangan kirinya yang gemetar. Sosro kemudian meminta
izin untuk memeriksa saraf ulnarisnya. Ternyata tidak ada kelainan.
Demikian pula dengan tenggorokannya sehat-sehat saja. Saat itu, Sosro
menyimpulkan kemungkinan ”Hitler” hanya menderita parkinson, berkaitan
dengan usianya yang lanjut. Lalu Sosro berasumsi, kemungkinan penyakit
itu muncul karena trauma psikis. ”Dugaan saya langsung diiyakan Poch.
Saya kaget juga. Akan tetapi, ketika saya tanya lebih jauh sejak kapan
penyakit itu menghinggapinya, Poch malah bertanya kepada istrinya dalam
bahasa Jerman. ”Penyakit kamu muncul sewaktu tentara Jerman kalah perang
di Moskow. Ketika itu, Goebbels memberi tahu kamu dan kamu
memukul-mukul meja,” ujar istrinya seperti ditirukan Sosro. Siapa
Goebbels? Apakah yang dimaksud adalah Joseph Goebbels, wartawan yang
banyak membantu gerakan Nazi dan kemudian menjadi Menteri Propaganda
pada pemerintahan Hitler? ”Tidak tahu keceplosan atau bagaimana,
beberapa kali istrinya memanggil Poch dengan sebutan ‘Dolf’. Apakah ini
merupakan kependekan dari ‘Adolf’ atau bukan, saya tidak begitu pasti.
Namun, itulah yang saya dengar langsung,” katanya. Pada majalah Zaman
edisi No. 15 Januari 1980, terdapat sebuah artikel yang ditulis Heinz
Linge, bekas orang dekat Hitler, berjudul ”Cerita Nyata Hari Terakhir
Seorang Diktator”. Tulisan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Try Budi Satria. Sambil memperlihatkan majalah Zaman,
Sosro menerangkan, dalam tulisan itu Linge menceritakan tentang
peristiwa bunuh diri Hitler dan Eva Braun. Kemudian menerangkan tentang
kondisi fisik Hitler saat itu. ”Beberapa alinea dalam tulisan itu
membuat jantung saya berdetak keras, seperti menyadarkan saya kembali.
Sebab di situ ada ciri-ciri Hitler yang juga saya temukan pada diri si
dokter tua Jerman. Apalagi setelah saya membaca buku biografi Hitler.
Semuanya ada kesamaan.” ucap Sosro. Heinz Linge menulis, ”Beberapa orang
di Jerman mengetahui bahwa Führer sejak saat itu kalau berjalan maka
dia menyeret kakinya, yaitu kaki kiri. Penglihatannya pun sudah mulai
kurang terang serta rambutnya hampir sama sekali tidak tumbuh. Kemudian,
ketika perang semakin menghebat dan Jerman mulai terdesak, Hitler mulai
menderita penyakit kejang urat”. Di samping itu, tangan kirinya pun
mulai gemetar pada waktu kira-kira pertempuran di Stalingrad tidak
membawa keberuntungan bagi tentara Jerman, dan ia mendapat kesukaran
untuk mengatasi tangannya yang gemetar itu. Pada akhir artikel, Linge
menulis, ”Tetapi aku bersyukur bahwa mayat dan kuburan Hitler tidak
pernah ditemukan”. Buku-buku tentang Hitler pun dibaca Sosrohusodo.
Perhatiannya selalu tertuju pada alinea-alinea yang menggambarkan
kondisi fisik Hitler pada masa-masa akhir kekuasaannya. Sebab itulah
kunci yang diharapkan akan membawanya lebih jauh masuk ke dunia Hitler.
Sosro pun segera mengontak kenalannya yang ada di Pulau Sumbawa. Dia
memperoleh kabar, Poch sudah meninggal dunia di Surabaya. Namun,
beberapa waktu sebelum meninggal, istrinya pulang ke Jerman bersama
seorang anak lelakinya. Poch sendiri kemudian menikah dengan seorang
wanita asal berinisial S. Wanita ini adalah karyawan salah satu kantor
pemerintahan di Sumbawa. Setelah Poch meninggal dunia, Nyonya S kembali
ke Bandung. Untuk menelusuri keberadaan S, bukanlah perkara mudah. Namun
ketekunannya membuahkan hasil, beberapa orang memberi tahu keberadaan
wanita tersebut.
Ternyata S tinggal di sebuah rumah di kawasan Babakan Ciamis. ”Saya
bertanya ke sana sini. Akhirnya ditemukan juga keberadaan S. Pada
awalnya dia enggan berbicara lebih jauh tentang Poch. Dia seperti
menjaga betul rahasia suaminya itu. S mengaku tidak ingin berurusan
dengan persoalan macam-macam, ingin hidup tenang. Tetapi, saya terus
membujuknya dan akhirnya mau juga berbicara terus terang,” ujar
Sosrohusodo. Di sela-sela pembicaraanya tentang S, Sosro memperlihatkan
foto wanita itu. Juga foto saat perkawinannya dengan Poch. Foto-foto
tersebut merupakan sebagian dari dokumen yang diserahkan S kepada Sosro.
Dokumen lainnya berupa rebewes (SIM) yang bercap jempol Poch, paspor
yang diterbitkan dari Jerman, serta buku harian yang sebagian halamannya
diisi tulisan steno. Dari Nyonya S pula diketahui bahwa Poch meninggal
pada tanggal 15 Januari 1970 pukul 19.30 WIB dalam usia 81 tahun di RS
Karang Menjangan Surabaya akibat serangan jantung. Poch dimakamkan
keesokan harinya di pemakaman Desa Ngagel. Sayang, Sosro tidak bersedia
memberikan data secara terperinci tentang S, termasuk alamatnya secara
lengkap. ”Saya ini sudah berjanji kepada Nyonya S untuk tidak mengganggu
ketenangannya. Yang penting saya sudah bertemu dengannya dan
mendapatkan dokumen berharga. Tetapi kalau Anda mau mencarinya sendiri
silakan. Bawa foto ini dan tanyakan kepada warga di Babakan Ciamis,”
katanya. Sosro menemukan data menarik dalam buku harian berukuran saku
milik Poch. Dalam buku lusuh tersebut ditemukan ratusan alamat orang
asing yang tinggal di berbagai negara di dunia. Di berbagai halamannya
terdapat coretan tangan yang sulit dibaca. Di bagian lainnya terdapat tulisan steno. Semuanya berbahasa
Jerman. ”Lihat ini catatannya. Buku ini banyak berbicara dalam upaya
pengungkapan sosok misterius Poch. Memang tidak mudah, tetapi saya
tertantang. Mungkin ini hanya soal waktu,” kata Sosro sambil membuka
halaman-halaman buku kecil itu. Memang tidak ada identitas jelas pemilik
buku itu. Hanya, ada beberapa kode terdiri atas angka-angka yang tidak
jelas maknanya. Pada sampul depan bagian dalam, tertulis kode J.R. KePaD
No. 35637 dan 35638, dengan masing-masing nomor ditandai lambang
biologis laki-laki dan perempuan. ”Ini memperkuat dugaan saya, buku itu
milik kedua orang yang saya yakini sebagai Hitler dan Eva Braun. Mereka
menutup identitasnya rapat-rapat, tetapi tetap ada celah yang menuntun
pada kenyataan sebenarnya,” tuturnya. Sementara nama-nama negara yang
tertulis dalam buku itu antara lain Pakistan, Tibet, Argentina, Afrika
Selatan, dan Italia. Di salah satu halamannya terdapat tulisan yang
dalam bahasa Indonesia berarti ”Organisasi Pelarian". Tuan Oppenheim
pengganti Ny. Kruger. Roma Sardegna 79a/1. Ongkos-ongkos untuk
perjalanan ke Amerika Selatan (Argentina)”. Lalu, ada satu nama dalam
buku saku tersebut yang sering disebut-sebut dalam sejarah pelarian
orang-orang Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch, atau ditulis pula
Draganovic. Di bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da
Imigration Europa - Genua Val Albaro 38. Secara terpisah, di bawahnya
lagi tertera tulisan Vatikan. Di halaman lain disebutkan, Draganovic
Kroasia, Roma via Tomacelli 132. Sosro kemudian memperlihatkan majalah
Intisari terbitan Oktober 1983, yang memuat sosok Klaus Barbie alias
Klaus Altmann, bekas anggota polisi rahasia Jerman zaman Nazi. Di situ
tertulis satu alamat Val Albaro. Disebutkan pula bahwa Draganovic memang
memiliki hubungan dekat dengan Vatikan Roma. Profesor inilah yang
membantu pelarian Klaus Barbie dari Jerman ke Argentina. Pada 1983,
Klaus diekstradisi dari Bolivia ke Prancis, negara yang menjatuhkan
hukuman mati terhadapnya pada 1947. Setelah menerima buku catatan harian
dr. Poch dari Ny. S, Sosrohusodo bingung ketika harus menerjemahkan
bagian yang ditulis dengan huruf steno. Dia bertanya ke beberapa orang
yang mengerti soal stenografi. Namun, mereka kurang paham karena model
steno itu jarang dipakai pada masa sekarang. ”Akhirnya saya menyurati
penerbit buku steno di Jerman, minta bantuan mereka. Selang beberapa
waktu kemudian datang jawaban, steno yang contohnya saya kirimkan itu
merupakan stenografi Jerman yang sudah ’kuno’. Namanya sistem
Gabelsberger dan sudah lebih dari 60 tahun tidak dipakai lagi,” tutur
Sosrohusodo. Meski demikan, pihak penerbit berjanji akan mencarikan
orang yang ahli steno Gabelsberger. Ternyata penerbit itu menepati
janjinya, dengan mengirimkan terjemahan steno itu ke dalam bahasa
Jerman. Lalu Sosro menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Judul
catatan itu kurang lebih ”Keterangan Singkat tentang Pengejaran
Perorangan oleh Sekutu dan Penguasa Setempat pada Tahun 1946 di
Salzburg”. Salzburg adalah nama kota di Austria. Di dalam catatan itu
antara lain tertulis, ”Kami berdua, istri saya dan saya, pada tahun 1945
di Salzburg”. Memang tidak secara jelas diterangkan identitas ”kami
berdua” dalam catatan tersebut. Akan tetapi, yang jelas tersirat mereka
berdua berada dalam ancaman. Antara lain dikejar-kejar oleh CIC (Dinas
Rahasia AS). ”Pokoknya catatan itu menggambarkan penderitaan orang yang
diburu pihak keamanan,” tutur Sosrohusodo. Selain itu, terdapat pula
abjad yang ditulis dengan huruf besar secara mencolok. Kalau diurutkan,
kemungkinan merupakan rute pelarian keduanya. Huruf-huruf itu adalah B,
S, G, J, B, S, R. Menurut Sosro, cara menyingkat tulisan seperti itu
merupakan kebiasaan Hitler dalam membuat catatan. ”Kebiasaan ini
ditemukan pula dalam literatur lain yang saya baca,” ujarnya. Lalu dia
menerjemahkan dan mengaitkannya dengan kemungkinan rute pelarian Hitler.
Kedua insan itu memulai pelariannya dari B yang berarti Berlin, lalu S
(Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Beograd), S (Sarajevo), dan R
(Roma). Roma, menurut dia, sebagai kota terakhir di Eropa yang menjadi
tempat pelarian kedua orang itu. Setelah itu, mereka keluar dari benua
tersebut menuju sebuah tempat bernama Pulau Sumbawa. Sosro membacakan
hasil terjemahan dari catatan harian itu, ”Pada hari pertama di bulan
Desember, kami harus pergi ke R untuk menerima surat paspor yang
kemudian berhasil membawa kami meninggalkan Eropa”. Keterangan ini
sesuai dengan data pada paspor dr. Poch yang menyebutkan, paspor
bernomor 2624/51 diberikan di Rom (tanpa huruf akhir a). Pada catatan
buku itu nama Dragnovic dikaitkan dengan Roma. Sosro kembali
memperlihatkan majalah Zaman edisi 14 Mei 1984 ketika membahas tentang
Berlin dan Salzburg. Menurut dia, sejarah mencatat peristiwa jatuhnya
pesawat yang membawa surat-surat rahasia Hitler di sekitar Jerman Timur
tahun 1945. Kenyataan ini menjadi petunjuk tentang rute pelarian mereka.
Sampai dibagian inilah saya merasakan kejanggalan. Berikut analisa yang saya dapatkan
2. Perbandingan antara foto dr. Poch dengan Sang Diktator Jerman.
foto Hittler yang asli
bandingkan dengan foto Hittler masih kurus
bandingkan dengan foto Hittler masih kurus
coba lihat dan bandingkan ketiga foto tersebut
Sekilas ketiga foto tersebut adalah orang yang sama namun apakah benar dr. Poch dan Hittler orang yang sama?
Sekilas ketiga foto tersebut adalah orang yang sama namun apakah benar dr. Poch dan Hittler orang yang sama?
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUMaqP7_apxtDEVJKfJMktj4WPh1ZwNZHajrrqm363e5NrJZq_aOHkbKJmG-dRNxEmgy_oQnke41ugqMZXEkFXx9qViikWI25AlOF6Bu1gdZJs6Za4Z5dd9UOD8RA2OGVNJwknGdIjewQf/s1600/earlobe.jpg)
a.
earlobe atau daun telinga seseorang pastilah berbeda bentuknya tetapi
disini hanya digolongkan menjadi 2 yaitu Attached Earlobe dan Free
Earlobe. Sekarang lihatlah earlobe atau daun telinga Hittler dan dr.
Poch sangat berbeda dan tidak sama sekali sama.
b. kelopak mata seseorang pun pasti berbeda ada yang besar menonjol dan
ada yang kecil datar. Sekarang lihatlah kelopak mata Hittler dan dr.
Poch
Mungkin itu analisa saya bukan ingin menyangkal buku ini tapi
hanya mencari dan melihat fakta yang ada entah benar Adolf Hitler
meninggal di Indonesia atau tidak Waallahualam bissawab
Author: 06.11
-
Tidak ada komentar